25 C
Sidoarjo
Sunday, December 22, 2024
spot_img

Kenaikan PPN 12 Persen: Kebijakan Progresif atau Beban Ekonomi?

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia akan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Langkah ini menuai perhatian luas dari berbagai kalangan, mulai dari pakar ekonomi hingga masyarakat umum. Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan ini bertujuan memperkuat anggaran negara untuk mendukung berbagai program pembangunan. Namun, kebijakan ini juga memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kenaikan PPN ini benar-benar efektif untuk mencapai tujuan tersebut, atau justru membebani rakyat yang sudah berjuang menghadapi kondisi ekonomi yang menantang?

Menurut saya, kenaikan PPN ini lebih terlihat sebagai langkah terburu-buru tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang masih rapuh pascapandemi. Peningkatan tarif pajak memang dapat memperkuat kas negara, tetapi bagaimana dengan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah? Kebijakan ini mungkin akan menekan mereka lebih dalam karena kenaikan harga barang kebutuhan pokok adalah efek domino yang sulit dihindari.

Di sisi lain, implementasi PPN progresif yang hanya dikenakan pada barang dan jasa premium menjadi sebuah keunikan kebijakan. Saya mengapresiasi bahwa pemerintah berupaya melindungi kelompok rentan dengan membebaskan kebutuhan pokok dari PPN. Namun, kebijakan ini berpotensi menciptakan kebingungan dalam pelaksanaannya, terutama pada kategori “premium” yang sering kali kabur definisinya. Misalnya, apakah semua beras impor dianggap premium? Bagaimana memastikan klasifikasi barang tidak menciptakan celah manipulasi di lapangan?

Berita Terkait :  Menanti Gubernur Peduli Kesejahteraan Petani

Hal lain yang patut dikritisi adalah kurangnya transparansi dalam memaparkan proyeksi manfaat dari kenaikan ini. Sejauh mana dana tambahan dari PPN ini akan digunakan untuk program pembangunan? Apakah akan diarahkan ke sektor-sektor yang mendesak seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur? Pemerintah perlu memberikan penjelasan yang lebih rinci agar masyarakat memahami tujuan dan manfaat kebijakan ini. Sebagai solusi, menurut saya, pemerintah seharusnya lebih fokus pada memperbaiki efisiensi pajak. Kebocoran pajak akibat penghindaran dan pengelakan pajak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Daripada membebani masyarakat umum dengan kenaikan tarif, mengapa tidak mengoptimalkan penerimaan dari sektor yang selama ini luput dari pengawasan?

Nur Aisyah
Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img