Pakar Sosiolog Pendidikan Nilai Pembangunan Sekolah Inklusi Lebih Urgensi
Dindik Jatim, Bhirawa
Wacana penghapusan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi isu yang menarik utnuk dibahas. Sebab, kebijakan ini telah diterapkan beberapa tahun terakhir untuk pemerataan akses pendidikan. Sehingga tidak ada lagi sekolah favorit. Namun, penghapusan sistem zonasi dalam PPDB ini masih dikaji dan dipelajari Mendikdasmen Prof Abdul Mu’ti.
Terkait wacana ini, Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim, Aries Agung Paewai mengungkapkan penerapan sistem zonasi di Jawa Timur masih berjalan cukup baik.
Karena memetingkan pemerataan bgi pendidikan. Bahkan Jawa Timur mendapat penghargaan terbaik dalam pelaksanaan PPDB oleh pemerintah.
“Kalau ini sudah baik mungkin regulasinya sistemnya yang diperbaiki. Ini pemerataan pendidikan. Kalau zonasi hilang berarti ada sekolah tertentu menjadi unggulan. Justru ini akan membuat anak-anak di daerah wilayah hilang kesempatannya masuk sekolah yang dinilai unggul kalau tidak ada zonasi,” jabarnya.
Sementara itu menurut pakar sosiologi pendidikan Unair Prof Tuti Budirahayu Dra MSi menilai, persoalan mendasar dari sistem zonasi berakar pada ketimpangan kualitas dan distribusi sekolah di Indonesia. Selama ini, kualitas sekolah seringkali ditentukan oleh kemampuan dan harapan kelompok masyarakat.
Prof Tuti menjelaskan secara sosiologis, sekolah berkualitas cenderung tumbuh di lingkungan masyarakat strata menengah-atas yang memiliki sumber daya lebih besar. Sebaliknya, masyarakat menengah-bawah sering kali harus menerima sekolah yang minim fasilitas, baik dalam hal sarana-prasarana maupun mutu tenaga pengajar.
“Ketimpangan ini telah membentuk dikotomi yang tajam. Anak-anak dari sekolah dengan fasilitas seadanya tidak dituntut mencapai prestasi akademik tinggi, sementara sekolah unggulan menjadi eksklusif bagi kelompok tertentu. Implementasi zonasi justru menjadi tantangan besar karena memaksa semua pihak untuk menghadapi kenyataan ketimpangan ini secara langsung,” tegasnya.
Meski zonasi bertujuan mulia, yakni untuk pemerataan akses pendidikan, pelaksanaannya sering memunculkan polemik. Namun, Prof Tuti berpendapat bahwa kembali ke sistem rayonisasi akan menghilangkan semangat pemerataan pendidikan.
“Jika kita kembali ke rayonisasi, kita mundur dalam upaya memberikan akses pendidikan yang adil dan merata,” jelasnya.
Kendati begitu, Prof Tuti juga mengakui bahwa sistem zonasi memerlukan penyempurnaan. Salah satu solusinya yang ia usulkan adalah peningkatan kualitas sekolah di seluruh wilayah. “Negara harus berpihak pada peningkatan kualitas sekolah dan guru,” tegasnya.
Ia menilai dari pada menghentikan sistem zonasi, pemerintah perlu memperkuat kebijakan ini dengan fokus pada pemerataan kualitas sekolah. Salah satu langkah strategis adalah revitalisasi sekolah inklusi.
“Sekolah inklusi tidak hanya menyatukan siswa dari latar belakang sosial-ekonomi yang beragam, tetapi juga memberikan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu,” jelasnya.
Di sekolah inklusi, siswa dari berbagai karakteristik termasuk anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dalam lingkungan yang sama, tetapi dengan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan.
Prinsip ini, lanjut Prof Tuti, sejalan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all) yang digagas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Prof Tuti juga menekankan perlunya pemantauan dan evaluasi berkala terhadap sistem zonasi. Evaluasi ini bertujuan memastikan bahwa kebijakan tersebut berjalan efektif dan memberikan dampak positif terhadap pemerataan pendidikan.
“Zonasi bukanlah sekadar pembagian wilayah, tetapi langkah menuju pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh siswa. Untuk mencapainya, perlu ada keberpihakan nyata dari negara terhadap upaya pemerataan akses pendidikan,” pungkasnya. [ina]