Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta.
Opini Novi Puji Lestari “Menyoal Kenaikan UMP yang Memicu Ancaman PHK, Harian Bhirawa (11 Desember 2024) menjadi fenomena menarik dicermati. Rencana Penetapan Upah Minimum Provinsi ( UMP ) sebesar 6.5 % baru di berbagai wilayah ini memunculkan beragam asa penyikapannya. Walaupun angkanya dimungkinkan tidak sebesar KHL ( Kebutuhan Hidup Layak ) kota namun penetapannya sedikit memberikan angin segar di kalangan pekerja.
Pertanyaan pun muncul akankah KHL ini menjangkau seluruh komponen pekerja atau hanya dinikmati sebagian kalangan. Hal ini bukanlah isapan jempol semata mengingat selama ini ada segolongan pekerja yang standar upahnya belum sepenuhnya tegas yakni guru.
Fenomena ini tidak lepas dari kondisi dimana masih terdapat penyikapan serba njomplang pada korps pendidik ini. Tidak bisa dipungkiri realitas kepegawaian tenaga pendidik di negeri ini kental dengan nuansa dikotomis. Pembedaan status secara tidak langsung mengentalkan nuansa kastaninasi guru, secara umum terdapat Guru PNS dan Non PNS, untuk guru non PNS terdiri dari beragam sebutan dari guru Honorer, GTT hingga guru swasta. Pada tulisan ini saya lebih suka menyebut guru non PNS ialah guru honorer yang hingga saat ini standar upahnya teramat absurb.
Kontradiksi profesi
Pembahasan kesejahteraan dikalangan guru menyisakan beragam tanya. Disatu sisi Guru PNS terlebih berstatus guru profesional dikaruniai kesejahteraan serba spektakuler disisi lain guru Honorer senantiasa ngiler terhadap kondisi serba tidak imbang ini. Tupoksi boleh sama namun kesejahteraan sangat berbeda. Kondisi ini diperparah dengan minimnya keberpihakan pada guru swasta.
Efek domino sertifikasi guru pun tak pelak menjadi sarana pendzaliman bagi guru honorer, ketentuan guru profesional untuk mengajar 24 jam/minggu secara tidak langsung disikapi dengan pemecatan terselubung bagi guru honorer. Kondisi dilapangan menunjukkan diterapkannya besaran jam mengajar bagi guru profesional ditafsirkan dengan memotong jam mengajar guru honorer. Pemotongan jam mengajar ini tidak ubahnya kanibalisasi profesi. mengingat sistem penggajiannya diperoleh dari besaran jam mengajar perminggu.
Permasalahan guru honorer selama ini secara tidak langsung bermuara pada adanya diskriminasi profesi berbasis penghasilan. Fenomena ini muncul dari belum adanya standarisasi gaji guru swasta.Dibalik hiruk pikuk penetapan Upah Minimum Kota ( UMK ) suatu daerah guru honorer patut mengelus dada. Bagaimana mungkin seorang guru yang menjalankan amanah mencerdaskan anak bangsa tingkat penghasilannya dibawah pekerja yang menghadapi mesin. Bukannya merendahkan profesi buruh pabrik, namun logika yang berkembang, jika untuk pekerja yang menghadapi mesin pemerintah mau membuka mata namun mengapa bagi pekerja yang menghadapi benda hidup berupa siswa dengan tingkat dinamisasi beragam penghargaannya masih memprihatinkan.
Bagaimanakah selayaknya memperhitungkan penghasilan bagi guru honorer agar lebih berdaya merupakan pertanyaan utama dibalik keresahan mereka selama ini. Adakah wacana cerdas untuk standarisasi gaji guru honorer agar pemberdayaan tercapai menjadi pertanyaan lain yang menarik untuk diikuti sekaligus sebagai pembuktian terbalik atas segala tuntutan perbaikan kesejahteraan guru honorerselama ini.
Standardisasi Gaji Guru Honorer
Permasalahan utama berkaitan penyikapan guru honorer tidak lepas dari adanya perbedaan pendapatan antara guru ini dengan guru PNS. Pedoman baku penggajian guru honorer saat ini belum diberlakukan dan dikembalikan pada mekanisme standar yakni disesuaikan dengan kondisi sekolah. Gaji guru honorer saat ini masih dalam standar rendah manakala dibandingkan dengan profesi lain.
Padahal Standarisasi gaji guru honorer bukanlah menjadi permasalahan rumit manakala masing-masing pihak menyadari peran strategisnya. Jika kesulitan menetapkan indeks gaji minimum standarisasi gaji guru honorer dapat mengacu dari UMP berbasis KHL setempat. Hal ini didasarkan pada kondisi lapangan dimana masih banyak ditemukan gaji guru honorer dibawah standar UMP setempat. Bahkan pada kondisi lebih ekstrim seringkali ditemui honorer tidak dibayar dengan uang namun dibayar dengan impian segera diangkat menjadi PNS dengan mekanisme sudah termasuk dalam data base tenaga yang segera diangkat.
Manajemen berbasis impian inilah yang menjadi titik tolak mengapa sering ditemukannya Guru Honorer tidak mempermasalahkan pola penggajian selama ini, iming-iming segera diangkat menjadi guru PNS meminggirkan nalar profesionalisme.
Posisi penggajian bagi guru honorer selama ini dirasa teramat aneh untuk dilihat dari akal sehat. Dengan nalar honor mengajar dihitung tiap jam mengajar selayaknya honor perbulan didasarkan jumlah jam mengajar selama satu bulan, namun kenyataannya honor guru honorer diambil dari jumlah jam mengajar selama satu minggu. Ilustrasinya jika seorang guru honorermengajar 20 jam/minggu maka jam mengajar tersebut yang dijadikan penggajiannya padahal realitasnya dalam 1 bulan dia mengajar 80 jam.
Rumitnya permasalahan guru honorer ini diperparah dengan minimnya keberpihakan pensejahteraan. Gaung peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini teramat minim keberpihakan pensejahteraannya. Permasalahan pensejahteraan tenaga honorer lebih banyak tertinggal dalam wacana-wacana cerdas. Pemberian tunjangan bagi guru honorer sebagai salah satu penyambung nyawa baginya teramat sering mengalami kemacetan dibandingkan dengan kelancarannya.
Menyibak realitas minimnya pensejahteraan guru akibat kebijakan serba diskriminatif ini tidak serta merta menumbuhkan keinginan untuk memformulasikan ulang bagaimanakah selayaknya mensejahterakan guru swasta. Penyikapan guru honorer selama ini teramat absurb dan manakala tuntutan pensejahteraan guru honorer ini digaungkan jawaban pensejahteraan guru dikembalikan pada yayasan yang menaunginya.
Mengembalikan pensejahteraan guru honorer pada yayasan penaungnya tidak lebih lemparan tanggung jawab Negara mengingat guru honorer mengajar siswa yang merupakan warga Negara dan memiliki hak untuk ditanggung dalam pembiayaan pendidikan.Permasalahan guru honorer patut menjadi permasalahan bersama mengingat kaum ini menjadi salah satu ujung tombak pencerdasan anak bangsaUpaya yang bisa dihadirkan dalam menyikapi keberadaan guru honorer ini diantaranya
Hentikan manajemen berbasis impian, apapun bentuknya manajemen berbasis impian ini sangat merusak pola kepegawaiaan. Iming – iming pengangkatan guru berbasis database honorer merupakan salah satu bentuk impian manis bagi guru honorer dan pada akhirnya secara tidak langsung menghalalkan segala cara untuk pendzaliman profesi guru swasta. Minimnya gaji guru honorer hingga jauh dibawah UMP di banyak wilayah merupakan implementasi dari masih diberlakukannya manajemen berbasis impian dikarenakan guru honorer tidak mempermasalahkannya asalkan segera diangkat menjadi PNS
Berlakukan standar penggajian guru honorer minimal setara UMP, selayaknya guru honorer lebih tenang dalam menjalani hidup dikarenakan penghasilannya sesuai dengan KHL dimana ia tinggal. Usulan penerapan standar gaji guru honorer diatas selayaknya dapat menjadi angin segar ditengah carut marutnya penyikapan guru swasta.
Pengembalian kesejahteraan guru pada lembaga penyelenggara pendidikannya bukan menjadi solusi cerdas. Jika diperlukan audit bagi lembaga penyelenggara pendidikan diberlakukan agar diketahui secara riil bagaimanakah kemampuan yayasan penyelenggaranya. Manakala yayasan belum sepenuhnya mampu menggaji sesuai standar selayaknya patut diberikan sistem subsidi silang dari pihak pemerintah sehingga penyikapan kesejahteraan tidak berlarut-laut..
Tidak kalah pentingnya Penekanan pendidikan berbasis kejujuran merupakan langkah selanjutnya untuk mengakhiri manajemen impian guru swasta. Jika pendidikan karakter dengan mengedepankan kejujuran siswa sedang digalakkan akhir-akhir ini selayaknya pengambil kebijakan memberi contoh bagaimanakah kejujuran mengatasi permasalahan guru. Jika memang keuangan Negara tidak mencukupi merekrut guru PNS selayaknya wacana pengagungan databasetenaga pendidik dihapuskan. Kejujuran inilah yang menjadi muara pokok agar guru honorerlebih berpikir realistis dan diharapkan lebih profesional dalam menjalankan tugas pokonya
Guru honorer merupakan realitas dalam sistem pendidikan di negeri ini, mereka adalah manusia cerdas yang akan menularkan kecerdasannya bagi pengembangan kualitas anak bangsa. Jika guru honorerini tidak diperlakukan dengan semestinya, apakah kita mau tergolong sebagai bangsa yang suka mendzalimi kaum intelektual?
———– *** ————-