27 C
Sidoarjo
Thursday, December 26, 2024
spot_img

Patologi Korupsi dalam Dimensi Kesehatan

Refleksi Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), 9 Desember

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Sejak era reformasi hingga saat ini, isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) masih menjadi salah satu tantangan terbesar dan momok serius bagi bangsa ini. Dengan berbagai wajah, modus dan bentuk KKN terus mengemuka di berbagai sendi kehidupan. Korupsi misalnya terus menjelma menjadi monster di setiap pemerintahan yang berdampak pada kemiskinan, kerusakan alam hingga ekonomi berbiaya tinggi. Oleh karena itu dalam peringatan Hakordia Tahun 2024 mengangkat tema “Teguhkan Komitmen Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju.” Tema ini diusung dengan filosofi bahwa momentum ini sangat penting bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen dari seluruh elemen bangsa dalam memberantas korupsi. Meski terus diperangi, modus korupsi juga terus berkembang, setidaknya terdapat tiga jenis antara lain pertama, petty corruption yaitu penyalahgunaan oleh pejabat publik dalam interaksi mereka dengan warga biasa di kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, korupsi jenis ini menyalahgunakan aset-aset di lembaga pemerintahan, seperti kas, persediaan hingga barang-barang inventaris atau praktik pemerasan, dan penerimaan suap dalam layanan publik.

Lantaran kasusnya kecil, praktik-praktik seperti itu seringkali dianggap “lumrah” oleh publik, padahal itulah biang keladi rusaknya layanan birokrasi dan munculnya bibit korupsi skala besar (grand corruption). Banyak contoh antara lain uang damai saat tilang, uang “terima kasih” saat mengurus surat kependudukan, “uang tembak” saat mengurus SIM, dan lain-lain. Petty corruption juga terjadi karena ada keinginan untuk mendapatkan akses terhadap layanan, seperti pendidikan atau Kesehatan. Kedua, grand corruption atau korupsi berskala besar yaitu penyalahgunaan kekuatan tingkat tinggi yang menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang dimana dapat melibatkan pejabat tinggi dengan kewenangan dan diskresi atas kebijakan pemerintah. Korupsi ini dapat merugikan masyarakat luas dan negara secara masif. Sebagai contoh antara lain : suap terkait proyek pemerintah berskala besar, seperti proyek infrastruktur dan konstruksi, penggelapan uang negara yang dikumpulkan dan praktik penyuapan, penggelapan, atau penipuan berskala besar yang memengaruhi kebijakan dan pemerintahan nasional. Ketiga, adalah political / state capture corruption yaitu manipulasi kebijakan, institusi, dan aturan prosedur oleh para pengambil keputusan politik, yang menyalahgunakan posisinya untuk mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaannya.

Berita Terkait :  Menanti Kontribusi Guru Penggerak Tingkatkan Skor PISA

State capture adalah korupsi sistemik yang terjadi ketika kepentingan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri. Salah satu contoh grand corruption adalah korupsi proyek e-KTP yang dilakukan sejak 2011, membuat negara merugi hingga Rp2,3 triliun. Selain itu, bentuk korupsi yang terkait dengan kekuasaan politik dan pengaruh politik dimana juga melibatkan tindakan korupsi yang berhubungan dengan proses politik, seperti pemilihan, pencalonan, atau pengaruh politik terhadap kebijakan seperti suap yang diberikan kepada politisi untuk memengaruhi pemilihan umum atau keputusan politik tertentu serta penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah untuk menghalangi pesaing politik atau mengubah undang-undang pemilihan umum. Strategi pemberantasan korupsi korupsi melalui pendidikan (membangun nilai), pencegahan (perbaikan sistem) dan penindakan (efek jera) harus berjalan beriringan namun tetap mengedepankan aspek pendidikan secara struktur dan masif, upaya pencegahan secara konsisten dan terakhir adalah melakukan penindakan sebagai bentuk upaya represif dan diharapkan menimbulkan efek jera.

Menginfeksi Sektor Kesehatan
Pemerintah mengalokasikan anggaran Kementerian Kesehatan sangatlah besar. Besaran anggaran pada 2020 sebesar Rp 119,9 triliun, lalu naik menjadi Rp 124,4 triliun pada 2021, meningkat pada 2022 menjadi Rp 134,8 triliun dan Rp 172,5 triliun pada 2023 serta tahun 2024 Rp 186,4 triliun atau 5,6 persen dari APBN. Sebuah angka yang fantastis sehingga harus benar-benar dikelola secara akuntabel dan transparan. Di sektor kesehatan juga tak luput dari jeratan korupsi. Saat ini obyek korupsi yang banyak terjadi adalah sektor pengadaan alat kesehatan (alkes), dana jaminan kesehatan, infrastruktur rumah sakit, dana obat-obatan, infrastruktur puskesmas/rumah sakit, dana alat kontrasepsi, dana operasional rumah sakit, dan pengadaan lahan rumah sakit.

Berita Terkait :  Generasi Z dan Tantangan Politik di Pilkada 2024

Beberapa modus yang dilakukan antara lain penggelembungan anggaran (mark up), lalu penyalahgunaan anggaran, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, kegiatan fiktif, pemotongan/penyunatan dana, suap/gratifikasi, dan pemerasan. Faktor pendorong bagi mereka yang korupsi di sektor ini, di antaranya : buruknya tata kelola anggaran, alkes memiliki banyak substitusi sehingga perbedaan harga seringkali dimanfaatkan sebagai peluang korupsi (mencari keuntungan dari selisih harga), lemahnya pengawasan, ketidakseimbangan informasi antara pasien dengan pemberi layanan kesehatan, mengakali tender, dan membeli obat mendekati masa kadaluwarsa. Selain itu juga menyangkut gratifikasi mutasi pegawai, penyalahgunaan anggaran honor, pengadaan barang dan jasa, dan operasional standar pelayanan yang tidak transparan. Sekali lagi sektor kesehatan menjadi sektor mendasar dalam layanan publik bahkan di sektor inilah hidup-matinya manusia diikhtiyarkan termasuk didalamnya lekat dengan urusan nyawa manusia.

————- *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img