28 C
Sidoarjo
Tuesday, October 22, 2024
spot_img

Menjamin Proklamasi Kemerdekaan NKRI

Mengenang Fatwa Resolusi Jihad Ulama dari Surabaya

Oleh:
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Visi ke-iman-an (ke-agama-an) telah membimbing Bung Karno, menemui Hadratus syekh kyai Hasyim Asy’Ary, di pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ditemani Residen Soedirman. Dikisahkan mantan anggota RPKAD, Ki Setyo Oetomo Darmadi (adik pahlawan PETA Soepriyadi, Blitar). Bung Karno meminta pendapat dan nasehat berkait hukum, tentang umat Islam menghadapi ancaman perang. Yakni, kedatangan tentara Sekutu, yang berdalih mengambil alih kekuasaan dari Jepang, (sebagai musuh dalam Perang Dunia Kedua yang sudah dikalahkan).

Padahal dengan mengambil kekuasaan dari Jepang, sama saja dengan menafikan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Proklamasi yang dibacakan hari Jumat Legi, dikeramatkan muslim Jawa. Bertepatan pula dengan bulan puasa yang tengah berlangsung selama 9 hari. Maka, kata Ir. Soekarno, angka 17 bukan buatan manusia. Kemerdekaan RI telah di-proklamir-kan, namun Belanda belum bersedia mengakui.

Bahkan Belanda baru saja mengakui, pada 14 Juni 2023. Bahwa tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, dalam sesi debat parlemen Belanda. Biasanya, Belanda masih mengakui tanggal 27 Desember 1949 (tanggal penyerahan kedaulatan, sekaligus melepaskan klaim atas Indonesia). Secara kenegaraan Belanda terus membahas dan mengkaji dekolonisasi era 1945 – 1950.

Maka menjawab permintaan Bung Karno, Hadratus syekh kyai Hasyim, menjawab dengan tegas, Proklamasi Kemerdekaan RI, wajib diperthankan. Sampai titik darah penghabisan. Seluruh rakyat (laki-laki dan perempuan, sampai anak-anak) wajib ikut perang, dengan masing-masing peran yang bisa dilakukan. Tak lama, bersama ulama se-Jawa dan Madura, hadratus syekh kyai Hasyim Asy’ary, menerbitkan Resolusi, dan fatwa Jihad. Wajib Perang Sabil.

Sampai terjadi perang besar di Surabaya, 10 November 1945. Walau tidak seimbang, antara Sekutu melawan rakyat (sipil) arek-arek Surabaya. Jumlah korban jiwa pada pihak arek-arek Surabaya, ditaksir sebanyak 20 ribu jiwa, gugur dalam syahid. Mayoritas masyarakat sipil. Sedangkan pada pihak Sekutu, sebanyak 1.600-an dinyatakan sebagai korban jiwa, atau hilang tidak ditemukan. Serta sebanyak 150 ribu jiwa mengungsi ke luar Surabaya, arah ke Mojokerto. Sekutu menganggap sebagai perang kedua terbesar, setelah Perang Dunia Kedua.

Berita Terkait :  Perlawanan IPAC Pada Diplomasi Kognitif China Terkait Taiwan

Sejarah pemanjatan tower hotel Yamato untuk menggantikan bendera Belanda dengan bendera Merah – Putih, dikenang sebagai peristiwa heroik. Diawali provokasi warga Belanda ingin kembali menjajah Indonesia, dengan memasang Belanda. Sekaligus sebagai pertanda “kuasa area.” Disusul perebutan (pendudukan) gedung pemerintahan oleh warga Belanda. Ditambah rasa superioritas, dan dukungan pasukan Inggris. Beberapa kelompok keturunan Belanda dari Australia, juga semakin banyak berlabuh di Tanjung Perak.

Sidang Ulama Pemberani
Insiden semakin sering terjadi, sampai pasukan Inggris harus mendarat di Surabaya pada 25 Oktober, melibatkan pasukan Brigade Mahratta. Semakin memicu penolakan rakyat Surabaya, yang telah mendengar fatwa Resolusi Jihad. Bahkan Gubernur Jawa Timur, RM Soerjo, menolak perlucutan senjata di kalangan pejuang. Sebelumnya, telah diselenggarakan rapat besar ulama se-Jawa dan Madura. KH Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar. Terutama menyikapi warga Belanda yang makin sewenang-wenang, bagai teror kedaulatan.

Kemerdekaan RI telah di-proklamir-kan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun Belanda belum bersedia mengakui. Tetapi pejuang Indonesia sudah mulai melucuti persenjataan pasukan Jepang. Pasa awal September, bendera Merah – Putih, semakin berkibar di seantero Indonesia. Terjadi insiden, pada 18 September di hotel Yamato, di Surabaya, karena warga Belanda mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru. Menyulut emosi penghinaan kedaulatan RI. Perundingan untuk penurunan bendera Belanda, panas. Terjadi perkelahian dan penembakan.

Pada tanggal 21 – 22 Oktober 1945, telah diselenggarakan rapat besar ulama se-Jawa dan Madura. KH Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar. Terutama menyikapi warga Belanda yang makin sewenang-wenang, bagai teror kedaulatan. Juga intimidasi yang dinyatakan Belanda kepada Presiden RI (Ir. Soekarno). Rapat Besar Ulama se-Jawa dan Madura, menerbitkan fatwa khusus kepada petinggi negara, dan seluruh rakyat Indonesia.

Berita Terkait :  Dampak Musim Kemarau

Pada konsiderans “mengingat,” Resolusi Jihad, dinyatakan, “1. Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem. 2. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.”

Pada konsiderans “memutuskan” Resolusi Jihad, pada diktum pertama, dinyatakan, “Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.

Selanjutnya pada diktum kedua, dinyatakan, “Soepaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.” Wartawan (koran) turut menyebarluaskan informasi fatwa jihad. Diantaranya dimuat koran Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) pada 26 Oktober 1945. Sejak itu terjadi “perang gerilya” di beberapa kampung di Surabaya. Begitu pula radio amatir, secara sembunyi-sembunyi juga menyiarkan hasil rapat besar ulama se-Jawa dan Madura.

Akui Kejahatan Ekstrem
Berdasar kitab Bujairimi Fathul Wahab jilid 4, pada halaman ke-251, serta kitab lain, berisi sama: Wajib ain perang melawan musuh yang akan menjajah. Fatwa “resolusi jihad” menjadi kewajiban untuk semua orang, tak terkecuali wanita dan anak-anak. Wajib ain (lebih wajib dibanding shalat) perang berlaku untuk setiap jiwa, yang berada pada radius 94 kilometer dari posisi musuh. Belanda (dan tantara Sekutu) kewalahan sampai harus mengerahkan Liga Muslim dari India (asal Pakistan). Masyarakat Jawa menyebut tantara Pakistan, saat itu, sebagai Gurgha, yang dibawahkan Jenderal Zia Ul-haq.

Berita Terkait :  Soroti Kebijakan Penghapusan Penjurusan di SMA

Tetapi pasukan Gurgha, memilih disersi. Tidak bersedia berperang dengan sesama muslim. Lebih lagi, “sama-sama NU-nya” (sesama penganut ahlus-sunnah waljamaah). Jenderal Zia, memilih pulang kampung. Sedang pasukannya melarikan diri ke desa-desa. Bahkan banyak yang menikah dengan wanita pribumi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Berselang dua tahun, hampir bersamaan dengan hari kemerdekaan NKRI, pada 14 Agustus 1947, Pakistan menyatakan kemerdekaan, lepas pula dari India. Indonesia menyokong kemerdekaan Pakistan.

Kemerdekaan RI baru diakui oleh pemerintah kolonial Belanda, pada 27 Desember 1949. Ironis, pemerintah Belanda zaman modern sekarang, baru saja mengakui Kemerdekaan RI dengan tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan secara politis, pemerintah kerajaan Belanda baru menyatakan kedaulatan Indonesia. Dinyatakan oleh Perdana Menteri Mark Rute, menjawab parlemen Belanda. Sekaligus mengakui telah terjadi “kejahatan ekstrem.”

Namun rakyat dan pemerintah Indonesia, meng-anggap pengakuan kedaulatan, dan permintaan maaf oleh Belanda, tidak penting benar. Seluruh dunia (dengan berbagai konvensi) niscaya mengutuk kejahatan ekstrem Belanda pada waktu lalu, sebagai “kejahatan perang.” Hampir seluruh negara bangsa memiliki kisah membentuk negara berdaulat. Sehingga proklamasi (dan UUD 1945) bangsa Indonesia, sejajar dengan Declaration of Independence of USA (Kemerdekaan Amerika Serikat).

Kini, hari Fatwa Resolusi Jihad (22 Oktober) diperingati sebagai “Hari Santri,” yang mengukuhkan kejuangan kalangan ulama dan santri. Tidak mudah menggelar rapat besar, dengan menerbitkan Perang Sabil. Tetapi setiap hal yang menjamin kukuhnya proklamasi kemerdekaan, wajib dilakukan. Hari Proklamasi, yang di-sakral-kan, tidak boleh diutak-atik. Tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi, dan pembukaan UUD, tidak boleh diubah. Karena akan menghadapi perlawanan seluruh rakyat yang rela bertaruh jiwa raga.

——— *** ———

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img